MAU PENCITRAAN APALAGI PAK MENTERI? PROBLEMNYA BUKAN SOAL TEKNIS TUMPANG TINDIH LOKASI TANAH, TAPI OTORITAS BPN YANG JUSTRU MELEGITIMASI PERAMPASAN TANAH OLEH MAFIA

RepublikeXpose Jakarta

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Kuasa Hukum SK Budiardjo & Nurlela

“Tentu kita tidak ingin masyarakat jadi korban akibat adanya tumpang tindih tersebut,”

[Menteri ATR/Kepala BPN, AHY dalam Rakernas Kebijakan Satu Peta, 18/7/2024]

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyampaikan rencana peluncuran program Geoportal Kebijakan Satu Peta 2.0. Keberadaan Kebijakan Satu Peta ini, diklaim mampu membatasi ruang gerak mafia tanah dan konflik agraria lainnya.

Pak Mentri, sudahlah! Berhenti bermain citra, Kementrian ATR/BPN bukan Partai Demokrat yang bisa dan biasa dijadikan ajang untuk melakukan politik pencitraan. Sudah cukup, pencitraan Anda soal ‘Gebuk Mafia Tanah’ melalui sejumlah statemen hingga selebrasi bersama artis Nirina Zubir.

Saya ingin menegaskan, bahwa pangkal masalah mafia tanah itu ada di BPN. Yang menjadikan rakyat tidak berdaulat, tak memiliki kepastian, jaminan dan perlindungan atas hak tanah mereka, itu karena ulah para pejabat di BPN.

Modus Operandi mafia tanah merampas tanah, itu bukan dengan senjata dan mengerahkan sejumlah centeng seperti era VOC. Para mafia, memanfaatkan instrumen hukum dan otoritas pejabat, khususnya pejabat yang ada di BPN.

Dalam kasus yang dialami SK Budiardjo & Nurlela, itu terlihat pihak BPN ikut bermain dengan tidak menindaklanjuti Putusan Pengadilan Nomor 442/Pdt.G/2006/PN JKT BAR, yang menetapkan tanah dengan Bukti Girik C 1906 seluas 2.231 m2 milik ABDUL HAMID SUBRATA (yang telah dibeli oleh Nurlela) dan membatalkan SHGB Nomor 1633/Cengkareng milik Agung Sedayu Group.

Padahal, melalui Surat yang diterbitkan Kantah BPN Jakarta Barat Nomor: 1734/09-03/SKP, perihal: usulan pembatalan sebagian SHGB 1633/Cengkareng atas nama PT Bangun Marga Jaya seluas 2.231 m2 (yang dibeli oleh Agung Sedayu Group), tegas memberikan rekomendasi kepada Kanwil BPN DKI Jakarta agar segera membatalkan SHGB 1633/Cengkareng atas nama PT Bangun Marga Jaya (milik Agung Sedayu Group).

Tindakan BPN yang tidak membatalkan SHGB 1633 justru melegitimasi perampasan tanah oleh Agung Sedayu Group dan memberi andil atas kriminalisasi terhadap Nurlela & SK Budiardjo selaku pemilik tanah yang sah dengan Bukti Girik C 1906 seluas 2.231 m2, yang dirampas oleh Agung Sedayu Group melalui klaim kepemilikan SHGB Nomor 1633/Cengkareng.

Belum lagi, penerbitan SHGB 1633 milik PT BMJ yang dibeli Agung Sedayu Group sangat bermasalah, baik karena luasan tanah yang tidak konsisten, Girik-Girik asal yang sebagian besar tidak berlokasi di Kelurahan Cengkareng Timur (bukan dilokasi SHGB 1633), hingga sejumlah SPH yang juga bermasalah. (Tidak berlokasi di kelurahan Cengkareng Timur).

Dalam kasus yang dialami oleh SK Budiardjo & Nurlela, masalahnya bukan karena tumpang tindih tanah. Tapi karena adanya perampasan tanah oleh mafia tanah, dengan modus operandi BPN menerbitkan SHGB untuk mafia yang modalnya dari girik-girik bodong, lalu SHGB itu diletakan diatas tanah rakyat dan rakyat diusir dari tanahnya secara zalim.

SHGB 1633 adalah produk hukum yang dijadikan instrumen untuk merampas tanah SK Budiardjo & Nurlela dengan dukungan BPN. BPN tidak membatalkan SHGB 1633 meski telah ada putusan pengadilan, SHGB 1633 milik Agung Sedayu telah merampas lokasi tanah Girik C 1906 seluas 2.231 m2 milik Nurlela & SK Budiardjo.

Bahkan, mengenai lokasi tanah milik Nurlela yang dirampas Agung Sedayu Group ini telah dikukuhkan melalui Surat Walikota Jakarta Barat Nomor: 2591/-1.712.534 tanggal 29 Oktober 2014. Dalam surat tersebut, ditegaskan bahwa lokasi tanah Girik C 1906 seluas 2.231 m2 tidak termasuk lokasi tanah SIPPT milik Agung Sedayu Group, dan terdapat pembangunan ruko-ruko milik Agung Sedayu yang dibangun diatas tanah Girik C 1906 milik Nurlela & SK Budiardjo.

Berikutnya, telah ditegaskan melalui memo Pemerintah Jakarta Barat dari Skretariat Gubernur DKI Jakarta tanggal 06 Desember 2016, bahwa ruko-ruko milik Agung Sedayu Group dibangun tanpa IMB karenanya harus dibongkar. Tidak terbitnya IMB tersebut, karena pembangunan ruko oleh Agung Sedayu dilakukan diatas tanah Girik C 1906 milik Nurlela & SK Budiardjo.

Kasus perampasan tanah milik SK Budiardjo & Nurlela oleh Agung Sedayu Group ini, telah dilaporkan oleh SK Budiardjo & NURLELA melalui Laporan Polisi ; LP/424/IV/2010/PMJ/RESTRO JAKBAR tangal 21 April 2010, LP/1950/VI/2010/Dit Reskrimum-UM tanggal 21 April 2010, LP: TBL3176/IX/2010/PMJ/Dit Reskrimum-UM tanggal 8 September 2010, dan LP/TBL/4529/IX/2016/PMJ/Dit Reskrimum-UM tanggal 5 September 2016.

Namun sayang, setelah ada gelar perkara dan terbukti ada pelanggaran yang dilakukan penyidik dalam menangani kasus, alih-alih laporan SK Budiardjo & Nurlela diproses, malah di SP-3. Sebaliknya, SK Budiardjo & Nurlela justru masuk penjara karena laporan balik yang diajukan Agung Sedayu Group melalui PT Sedayu Sejahtera Abadi (PT SSA).

Kesimpulannya, perampasan tanah rakyat oleh mafia itu bukan karena masalah teknis adanya tumpang tindih tanah Pak Menteri AHY. Masalah substansinya adalah adanya mafia tanah yang dilegitimasi oleh BPN untuk merampas tanah rakyat. Masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan sistem aplikasi atau Kebijakan Satu Peta yang Pak Menteri banggakan. Tapi butuh komitmen pejabat BPN untuk taat hukum dan menegakan keadilan bagi masyarakat. Tapi, apakah itu masih mungkin? Apakah Pak Menteri berani melawan Agung Sedayu Group?

(Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *