RepublikeXpose – Jakarta
Ditulis Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat
Saat aspirasi Pemakzulan Presiden Jokowi bergulir deras, tiba-tiba Faisal Basri mengabarkan adanya rencana sejumlah menteri di Kabinet akan mengundurkan diri. Infonya ada 15 menteri yang akan mundur, termasuk Menkeu Sri Mulyani dan Basuki Muljono selaku Menteri PUPR.
Sebenarnya, Presiden Jokowi tak harus dimakzulkan jika memiliki kesadaran dan keinsyafan untuk mengundurkan diri. Atau bisa juga Presiden mengundurkan diri atau menyatakan berhenti dari jabatannya karena tekanan. Diantaranya, karena tekanan sejumlah menterinya yang bedol deso (rame-rame) mengundurkan diri.
Presiden Jokowi dapat mengunduran diri ini dan dilindungi secara konstitusional, berdasarkan Tap MPR RI No. VI/MPR-RI/2001 tentang ETIKA KEHIDUPAN BERBANGSA. Dalam Tap MPR ini, diatur pokok-pokok Etika Kehidupan Berbangsa.
“Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan SIAP MUNDUR dari JABATAN POLITIK apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.”
Namun, untuk menegaskan alasan, bukti dan urgensi Presiden Jokowi harus dimakzulkan, kiranya perlu penulis sampaikan argumentasinya melalui tulisan ini. Agar, DPR memiliki keyakinan untuk segera menerima aspirasi Pemakzulan yang disampaikan oleh Petisi 100 dan TPUA (Tim Pembela Ulama & Aktivis).
Perlu untuk diketahui, Petisi 100 melalui Badan Pekerjanya telah mengirimkan surat permohonan Audiensi kepada DPR RI pada tanggal 13 Januari 2024. Selanjutnya, TPUA juga telah mengirimkan Surat Permohonan Audiensi dan Penyerahan Bukti sebagai dasar Pemakzulan ke DPR RI pada tanggal 17 Januari 2024.
TPUA telah meminta agar agenda audiensi dengan DPR RI untuk dapat dilaksanakan pada Senin, 22 Januari 2024. Penulis sudah berkoordinasi dengan sejumlah tokoh Petisi 100 agar bisa melaksanakan agenda audiensi ke DPR RI secara bersamaan, agar aspirasi Pemakzulan dari Petisi 100 dan TPUA dapat disampaikan secara komprehensif.
Untuk mengawali pembahasan aspirasi Pemakzulan Presiden, perlu disampaikan bahwa landasan hukumnya adalah berpijak pada ketentuan norma pasal 7A UUD 1946 yang menyatakan:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Dari ketentuan norma konstitusi pasal 7A UUD 1945 ini, dapat dipahami bahwa alasan Pemakzulan Presiden bersifat alternatif karena ada frasa ‘atau’ dalam rangkaian kalimatnya. Artinya tidak semua alasan harus terpenuhi. Salah satu saja alasan terpenuhi, maka Presiden dapat dimakzulkan. Alasan tersebut adalah:
Pertama, Presiden terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara, terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya.
Kedua, Presiden terbukti melakukan perbuatan tercela.
Ketiga, Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
Petisi 100 dan TPUA menyampaikan aspirasi Pemakzulan Presiden Jokowi karena Presiden terbukti melakukan perbuatan tercela atau Presiden terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.
Rinciannya adalah sebagai berikut :
Petisi 100 menyampaikan aspirasi agar Presiden Jokowi harus segera dimakzulkan karena Presiden terbukti telah melakukan Perbuatan tercela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945, berupa tindakan cawe-cawe (intervensi) dalam Pilpres 2024 yang menyebabkan putra Presiden Gibran Rakabuming Raka bisa menjadi Cawapres.
Bukti Pelanggaran Konstitusi Jokowi telah melakukan tindakan cawe-cawe (intervensi) dalam Pilpres 2024 yang menyebabkan putra Presiden Gibran Rakabuming Raka bisa menjadi Cawapres, adalah putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023 yang menyatakan Anwar Usman melanggar kode etik berat saat mengadili dan mengeluarkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Sebab, Gibran maju Pilpres berdasarkan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sementara Anwar Usman yang memutus perkara ini, telah dijatuhi sanksi etik berupa pencopotan jabatannya sebagai ketua MK berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023.
Adapun Urgensinya adalah untuk menjamin pelaksanaan Pemilu 2024 berjalan secara LUBER (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia) dan JURDIL (Jujur & Adil), sebagaimana dikehendaki oleh UU Pemilu. Sebab, jika Jokowi masih menjadi Presiden, Pemilu dilaksanakan dibawah kekuasaan Jokowi, maka dapat dipastikan Pemilu tidak akan LUBER dan JURDIL.
Urgensi lainnya adalah untuk menjamin hasil Pemilu 2024 legitimate dan dipercaya Rakjat. Sebab, jika Pemilu diadakan dibawah kendali Jokowi maka dapat dipastikan rakyat meragukan hasilnya. Patut diduga bahkan diyakini, Pemilu hasil kecurangan dan rekayasa. Padahal, rakyat butuh Presiden yang terpilih dari pertarungan yang sahih, bukan Presiden hasil kecurangan.
Sementara TPUA memiliki aspirasi Presiden Jokowi harus dimakzulkan karena telah terbukti tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 Jo Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, berupa tidak memiliki ijazah asli baik SMA atau sederajat sebagai syarat menjadi Presiden, dibuktikan dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Surakarta, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang dan Putusan Mahkamah Agung R.I. dalam perkara Gus Nur dan Bambang Tri Mulyono.
Buktinya berupa Putusan Nomor 318/Pid.Sus/2022/PN.Skt dan Putusan 319/Pid.Sus/2022/PN.Skt. Jo Putusan Nomor 271/PID.SUS/2023/PT SMG dan Pusan Nomor 278/PID.SUS/2023/PT SMG Jo Putusan Nomor 4850/K/Pid.Sus/2023 dan Putusan Nomor 4851/K/Pid.Sus/2023.
Isi Putusan Gus Nur dan Bambang Tri menegaskan bahwa ijazah palsu Jokowi bukan kabar bohong melainkan hanya dianggap kebencian berdasarkan SARA (pasal kabar bohong dibatalkan oleh PT Semarang dan dikuatkan MA), sepanjang persidangan ijazah asli Jokowi juga tidak ada, sehingga bisa disimpulkan bahwa ijazah Jokowi palsu. Karena ijazah Jokowi Palsu, maka Jokowi terbukti tidak memenuhi syarat sebagai Presiden karena syarat untuk menjadi Presiden minimal berpendidikan SMA sederajat yang dibuktikan dengan ijazah yang asli, bukan ijazah Palsu.
Urgensinya adalah agar bangsa Indonesia terbebas dari legacy tuduhan pernah dipimpin oleh Presiden berijazah palsu. Agar generasi saat ini, mampu bertanggungjawab pada generasi selanjutnya, dengan mewariskan legacy berbangsa dan kepemimpinan nasional yang steril dari ijazah palsu.
Selain terbukti tidak memenuhi syarat, Presiden Jokowi dengan ijazah palsunya terbukti melakukan perbuatan tercela. Sebab, tidak ada seorangpun yang menilai presiden berijazah palsu sebagai perbuatan mulia, melainkan pasti sepakat itu merupakan perbuatan tercela.
Penulis, TPUA dan Tim Petisi 100 telah menyiapkan alasan, bukti dan urgensi pemakzulan Presiden Jokowi sebagaimana diminta Ketua DPR RI Puan Maharani. Karena itu, sudah menjadi kewajiban DPR RI sebagai lembaga wakil rakyat, untuk menerima kunjungan kami untuk beraudiensi pada hari Senin, tanggal 22 Januari 2024.
(Red).