Republikexpose com ~
JAKARTA // “Serangan ke Menkeu Pak Purbaya membesar, yaitu gabungan Geng SOP + PM6 (Solo, Oligarki, Parcok, Politisi, dan 6 Mafia).” Demikian cuit Muhammad Said Didu di akun X-nya (22/10/25).
Sebuah sindiran keras tapi padat makna. Publik paham, di balik akronim itu tersimpan realitas getir. Reformasi ekonomi yang sedang dijalankan Purbaya mulai mengguncang fondasi kekuasaan lama —sebuah jaringan panjang yang menggurita dari istana hingga ruang lobi para pemodal besar.
Purbaya tampaknya bukan tipe birokrat lembek yang sekadar mengamankan kursi. Sejak awal, dia langsung memutus rantai warisan rezim sebelumnya. Menolak utang luar negeri baru. Menertibkan bea cukai. Membongkar permainan impor-ekspor. Dia juga menolak akal-akalan “tax amnesty jilid tiga” yang hanya menguntungkan para konglomerat hitam. Rangkaian gebrakan ini jelas mengusik banyak kepentingan. Dari mafia pajak, sindikat kredit, hingga politisi busuk yang selama ini menikmati rente.
Tak heran jika muncul serangan terkoordinasi dari berbagai arah. Said Didu menyebutnya “gabungan Geng SOP + PM6”. Said menggunakan istilah satir yang sebenarnya menelanjangi jantung masalah bangsa ini. Yaitu, oligarki yang kian rakus, politisi yang menjual kedaulatan, dan mafia yang sudah lama menjadikan institusi ekonomi negara sebagai ladang rampasan.
Menariknya, publik justru merespons dengan gelombang dukungan besar. Di kolom balasan, akun-akun rakyat biasa bersuara lantang. Seorang warganet menulis, “Presiden Prabowo kayaknya harus bersih-bersih lagi… ganti anak-anak buah bekas Jokowi, terutama yang bekasannya Jokowi.”
*Rakyat yang resah dan marah*
Komentar ini menggambarkan keresahan yang sama. Rakyat mulai sadar bahwa reformasi ekonomi mustahil berhasil jika tim di sekeliling presiden masih terinfeksi virus lama. Virus kompromi terhadap kekuatan busuk.
Yang lain menulis, “Kalau Anda Pak Purbaya tahu siapa yang menyerang, kasih tahu rakyat, biar dinepalkan sekalian.” Sementara akun lain menambahkan, “Prabowo harus cari tandem baru buat Purbaya, biar para bedebah tak fokus menyerang satu orang.” Semua ini menandakan satu hal: rakyat mulai melihat Purbaya sebagai simbol perlawanan terhadap oligarki.
Bahkan ada yang mengusulkan langkah konkret: membuat surat dukungan terbuka, ditandatangani tokoh-tokoh berintegritas. “Jadi Pak Purbaya tidak merasa berjuang sendirian melawan geng Solo dan oligarki,” tulis akun lain. Rakyat ingin memastikan, sang Menkeu tak dibiarkan menjadi martir baru. Dihabisi karena memilih berpihak pada kepentingan bangsa.
Fakta bahwa suara dukungan rakyat mengalir deras di dunia maya membuktikan satu hal: isu ini bukan sekadar pertarungan elit, tapi pertarungan moral. Sebagaimana ditulis akun @kamehadian, “Sang koboy dalam waktu singkat mampu membuat sarang penyamun bak dilanda gempa.” Kalimat ini mewakili perasaan banyak orang. Sistem ekonomi yang busuk sedang goyah. Mereka yang selama ini nyaman dalam korupsi mulai panik menyelamatkan diri.
Pertanyaannya sekarang: apakah Presiden Prabowo benar-benar akan berdiri di belakang Purbaya? Atau justru membiarkannya sendirian menghadapi serangan dari geng lama yang kini berganti baju kekuasaan? Sebab, sebagaimana ditulis netizen lain, “Kalau Prabowo serius mau memberantas mafia, dia harus dukung penuh Purbaya. Jangan cuma panen hasil kerja bawahannya nanti.”
Sejarah memberi tanda-tanda penting. Setiap upaya pembersihan sistem pasti diiringi perlawanan balik dari mereka yang merasa terusik. Purbaya kini di tengah pusaran itu. Dia sedang menyentuh syaraf paling sensitif kekuasaan. Uang, rente, dan oligarki.
Rakyat sudah menunjukkan keberpihakannya. Tapi pertempuran belum selesai. Dukungan moral harus berubah menjadi gerakan nyata. Pengawalan publik, tekanan politik, dan desakan agar Presiden tidak goyah. Karena jika reformasi ekonomi ini runtuh di tengah jalan, yang kalah bukan cuma Purbaya. Yang kalah adalah kita semua.
#WeStandWithPurbaya bukan sekadar tagar. Ia seruan moral bahwa negeri ini masih punya harapan. Itu sebabnya keberanian melawan kebusukan tak boleh lagi dibiarkan berjalan sendirian. [ Red ]
_Edy Mulyadi*, Wartawan Senior_