Republikexpose.com ~
KUPANG NTT // Di negara kita yang tercinta Indonesia, banyak orang bicara tentang hukum seolah itu dewa yang turun dari langit. Tapi di tanah tempat matahari pertama kali menyapa Indonesia, kami tahu satu hal: hukum bisa ditegakkan, tapi juga bisa dibengkokkan, tergantung siapa yang memegangnya.
Itulah politik. Ia seperti angin di musim kering di Timur yang tak terlihat, tapi bisa membuat pohon paling kuat pun bergoyang.
Bila politik dan hukum adalah dua saudara yang lahir dari ibu yang sama bernama kekuasaan, maka politik adalah kakak yang keras kepala, dan hukum adalah adik yang sering disuruh diam.
Kita diminta taat hukum, tapi hukum sendiri sering tunduk pada politik. Ironi ini sudah lama hidup di republik ini dari gedung tinggi di Jakarta sampai balai kecil di kampung kami di Timur.
Politik Melahirkan Hukum, Tapi Siapa Melahirkan Nurani?
Di DPR, hukum dibahas dengan kata “demi rakyat”. Tapi kalau kita jujur, banyak pasal lahir bukan dari suara rakyat, melainkan dari bisikan lobi.
Hukum jadi seperti kain yang dijahit di ruang gelap, ukurannya tergantung siapa yang pesan. Dan rakyat? Mereka cuma dipanggil untuk menandatangani nota kesepahaman lewat pemilu.
Dari Timur, kami melihat dengan mata jernih: hukum tidak pernah netral. Ia selalu berbau politik, dan sering kali, bau itu menyengat. Setiap pasal adalah hasil perundingan, bukan perenungan. Setiap undang-undang adalah kesepakatan kepentingan, bukan jeritan keadilan.
Hukum Jadi Pagar, Tapi Pagar pun Bisa Dijual
Hukum seharusnya jadi pagar, tapi di negeri ini, pagar bisa dijual kalau ada harga. Kita sudah lihat: pejabat yang ditetapkan tersangka, bisa bersih kembali menjelang pemilu.
Atau undang-undang yang lahir terburu-buru seperti anak yang belum siap lahir tapi dipaksa keluar karena ada pesta politik menunggu. Hukum harusnya berdiri tegak di atas rakyat, tapi justru berdiri di bawah meja kekuasaan.
Dan ketika hukum jadi alat, keadilan mati muda. Keadilan tidak lahir dari pasal, tapi dari keberanian. Keberanian yang kini mulai langka di negeri yang penuh slogan tentang kebenaran.
Negara Ini Hidup di Antara Dua Bayangan
Politik bicara tentang arah, hukum bicara tentang batas. Yang satu mencari kemenangan, yang lain mencari keseimbangan. Tapi kalau kemenangan menindas keseimbangan, maka yang lahir bukan negara, melainkan arena.
Dari Timur, kami tahu arti keseimbangan. Di laut, perahu bisa karam kalau layar terlalu tegang atau tali terlalu longgar.
Begitu juga negara ini jika politik menarik terlalu keras, hukum akan robek. Dan ketika hukum robek, rakyat tenggelam dalam ombak ketidakadilan.
Ketika Politik Jadi Dalang dan Hukum Jadi Wayang
Sejarah kita panjang dan penuh luka. Dari masa Soekarno, Soeharto, sampai reformasi, hukum sering dimainkan di panggung politik.
Kadang untuk menakuti, kadang untuk menutupi. Dan rakyat selalu jadi penonton yang membayar tiket paling mahal: kehilangan kepercayaan.
Tapi kita juga tahu, tanpa politik, hukum tidak bisa hidup. Politik adalah jantung negara, hukum adalah darahnya. Masalahnya, jantung kita berdetak untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk kekuasaan?
Timur Bicara: Jangan Lagi Hukum Jadi Budak
Kami di Timur tahu rasanya hidup di pinggir hukum. Banyak perkara kecil yang besar di hati rakyat tapi tak pernah sampai ke meja pengadilan. Bukan karena kurang bukti, tapi karena kurang suara.
Hukum di negeri ini sering berjalan pelan ke arah yang miskin, tapi berlari cepat ke arah yang berduit. Kami tidak ingin hukum menakuti, kami ingin hukum menegakkan. Kami tidak ingin politik mengatur segalanya, kami ingin politik mendengar nurani.
Negara ini akan sehat kalau politik tahu batasnya, dan hukum tahu keberaniannya.
Siapa yang Mengendalikan Negara?
Pertanyaan ini seperti ombak yang terus datang kadang pelan, kadang menghantam. Jawabannya tidak tunggal: kadang politik menang, kadang hukum berkuasa.
Tapi yang kita butuhkan bukan kemenangan, melainkan keseimbangan. Karena kalau politik memimpin tanpa hukum, negara jadi hutan. Kalau hukum memimpin tanpa politik, negara jadi batu.
Dan Indonesia tidak bisa jadi hutan atau batu ia harus jadi taman, tempat keadilan tumbuh dan rakyat bisa bernapas.
Dari Timur kami berseru:
Biar hukum bicara dengan tegas, dan politik belajar mendengar dengan rendah hati. Karena kalau tidak, negeri ini akan terus berputar di lingkaran lama, di mana keadilan hanya kata, dan kekuasaan tetap raja.
Red *
Oleh : Etmon Oba, S. H
Penulis adalah pegiat media massa,
(Suara Kecil dari Timur untuk Indonesia)