RepublikeXpose.com //. JAKARTA //
OPINI -* Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 pada 17 Agustus 2025, suasana di berbagai kota di tanah air dipenuhi semangat patriotisme dengan berbagai dekorasi nasional. Bendera, umbul-umbul, dan lampu hias yang menghiasi jalan-jalan dan sudut-sudut lingkungan masyarakat. Tradisi merayakan kemerdekaan pun semakin meriah, menunjukkan semangat nasionalisme yang tak pudar.
Namun, di balik kemeriahan dan semangat kebangsaan yang sedang dibangkitkan, terdapat potret nyata yang memprihatinkan dari kehidupan rakyat Indonesia saat ini. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia pada 2024 mencapai sekitar 9,2% dari total penduduk, yang berarti lebih dari 24 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka tersebar di berbagai daerah, terutama di daerah pinggiran kota dan pedesaan yang jauh dari pusat kemakmuran.
Selain kemiskinan, pengangguran nasional juga menjadi tantangan besar. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, angka pengangguran terbuka pada kuartal pertama tahun 2025 mencapai 6,7%, atau sekitar 8,4 juta orang dari angkatan kerja yang aktif. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi mencatat rata-rata 5% per tahun, manfaatnya belum merata dan masih menyisakan ketimpangan sosial yang dalam.
Di saat yang sama, tingkat kemiskinan dan pengangguran ini berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari rakyat, mulai dari sulit memenuhi kebutuhan hidup, meningkatnya angka kemiskinan anak, hingga meluasnya praktik pungutan illegal yang mencekik rakyat kecil. Fenomena ini seakan berlawanan dengan semangat perjuangan para pahlawan yang mengorbankan segalanya demi kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa.
Ironisnya, ketimpangan sosial ini seolah menegasikan makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Sebagaimana dikatakan Bung Karno, “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh karena itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.” Tapi realitas saat ini menunjukkan bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Kondisi ini juga diperparah oleh tingkat korupsi yang masih tinggi. Data Transparency International 2024 menyebutkan Indonesia menempati posisi ke-102 dari 180 negara dengan skor indeks persepsi korupsi sebesar 33/100. Artinya, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih menjadi batu sandungan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan melayani rakyat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa perayaan kemerdekaan tidak hanya soal mengibarkan bendera dan menggelar berbagai acara seremonial. Lebih dari itu, momentum ini harus menjadi refleksi kolektif tentang sejauh mana bangsa ini mampu memenuhi cita-cita para pendiri bangsa, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Penegasan saya, sebagai bagian dari insan pers dan warga bangsa, adalah perlunya komitmen bersama untuk memperbaiki kondisi ini. Pemerintah harusnya mampu menerapkan kebijakan yang menyentuh langsung kehidupan rakyat dengan mengurangi kemiskinan, memperluas lapangan kerja, serta memberantas praktik korupsi secara tegas dan konsisten.
Akhir kata, peringatan 80 tahun kemerdekaan ini harus menjadi momen kebangkitan bangsa dari berbagai keterpurukan. Jangan sampai semangat perjuangan para pahlawan tereduksi oleh kenyataan pahit yang terus mendera rakyat. Mari kita jadikan momen ini sebagai titik tolak menuju Indonesia yang lebih adil, makmur, dan berdaulat sesuai cita-cita luhur para pendiri bangsa.
Red *
Oleh : Noto Prayitno (Ketua Pokja PWI Walikota Jakarta Barat)*