Koperasi Merah Putih: Sampul Baru Isi Lama “Korupsi”

RepublikeXpose.com =
NUSA TENGGARA TIMUR //


Oleh: Etmon Oba, S.H
Penulis adalah Pegiat Media Massa

Dari sejumlah pembangunan desa yang dipoles indah, rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT) sering menjadi korban dari ambisi dan keserakahan elite lokal. Dana desa, yang sejatinya adalah napas untuk menghidupkan pembangunan dari akar rumput, justru menjadi ladang subur bagi korupsi yang membusuk dari dalam. Di tengah kegagalan ini, muncul satu program baru: Koperasi Merah Putih.

Namun pertanyaannya tegas dan harus dijawab jujur: apakah koperasi ini benar-benar akan menjadi motor perubahan, atau hanya mengganti baju dari skema penyelewengan yang sudah lama terjadi?

Koperasi Merah Putih hadir dengan semangat luhur: gotong royong, kemandirian, dan nasionalisme ekonomi dan disebut sebagai kendaraan rakyat untuk bangkit dari kemiskinan tanpa harus bergantung pada negara atau elite politik. Koperasi menawarkan skema ekonomi kolektif: keuntungan dibagi adil, keputusan diambil bersama, dan semua anggota setara di depan neraca.

Tapi rakyat NTT sudah terlalu sering dikhianati oleh sistem yang tampaknya baik di atas kertas.

Dalam beberapa tahun terakhir, NTT menjadi sorotan nasional karena jumlah kasus korupsi dana desa yang terus meningkat. Kepala desa, bendahara, ditangkap karena menyelewengkan anggaran. Proyek fiktif, mark-up, pengadaan siluman, hingga dana yang ‘lenyap tanpa jejak’ menjadi berita rutin.

Banyak desa menerima ratusan juta hingga miliaran rupiah setiap tahun. Tapi kenyataan di lapangan tetap sama: jalan rusak, air bersih tak mengalir, warga tetap menggantungkan hidup pada musim dan nasib.

Kenyataannya, dana desa tak gagal karena konsepnya salah melainkan karena mentalitas dan pengawasan yang lemah.

Koperasi Merah Putih hari ini bisa jadi terlihat seperti “obat”. Namun jika tidak dikawal dengan integritas dan mekanisme kontrol yang ketat, koperasi pun akan terinfeksi penyakit yang sama: korupsi berbaju rakyat.

Koperasi yang dikelola oleh orang yang sama, dalam sistem sosial yang sama, tanpa perubahan budaya integritas, hanya akan menjadi dana desa jilid dua dikelola oleh segelintir elite lokal, dilaporkan secara fiktif, dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat yang tak punya akses terhadap dokumen dan data.

Kita sudah melihat bagaimana musyawarah desa sering kali hanya formalitas. Apakah musyawarah koperasi akan lebih baik? Kita sudah melihat bagaimana BPD tak berdaya mengontrol kepala desa. Apakah pengurus koperasi bisa benar-benar independen? Tanpa perubahan sistem dan mental, koperasi hanya menjadi bungkus baru untuk korupsi yang sama.

Jika Koperasi Merah Putih ingin benar-benar berbeda, maka:

  1. Harus dibangun dari kesadaran warga, bukan dari instruksi elite.
  2. Harus punya sistem transparansi berbasis teknologi yang real-time dan terbuka.
  3. Harus punya pengawasan independen dari luar struktur desa.
  4. Yang paling penting, koperasi harus diaudit secara periodik oleh lembaga eksternal yang kredibel—bukan hanya laporan pertanggungjawaban yang dibacakan di rapat tahunan.

NTT bukan kekurangan uang. NTT kekurangan sistem dan budaya yang memaksa transparansi. Maka Koperasi Merah Putih harus bersedia diuji oleh rakyatnya sendiri. Sebab hari ini rakyat tidak butuh lagi slogan. Mereka butuh bukti dan kontrol atas uang mereka sendiri.

Koperasi hanya akan jadi harapan jika rakyat berani menjaga dan mengawasinya, bukan menyerahkan kembali ke tangan-tangan yang pernah menyelewengkan dana desa.

Jika tidak, koperasi akan jadi cerita lama dengan sampul baru dan rakyat akan kembali membayar harga dari janji yang tidak pernah ditepati.

Red *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *