Dinilai Bertentangan Dengan Kontitusi Dan Adat, Timor, Maksi Angket Tolak Penetapan Status Cagar Alam Mutis

Republik – TTS

Penetapan Menteri Lingkungan Hidup dan kehutanan Republik Indonesia terkait Penurunan Cagar Alam MUTIS menjadi Taman Nasional, ternyata menuai reaksi penolakan karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan hak hidup masyarakat adat di pulak Timor,

Penegasan ini disampaikan salah satu tokoh muda Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Maksi Angket saat diskusi terbatas dengan media ini, Senin (12/11/2024).

“Saya tegaskan, penetapan status Cagar Alam oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI adalah bertentangan dengan Konstitusi dan Hak hidup Masyarakat Adat di Pulau Timor,” tegas Maksi.

Menurutnya, sejak Belanda menjajah Timor selama 350 tahun, namun bangsa Timor pada waktu itu Masi tetap mengexpor Cendana ke berbagai Negara. Namun ketika Indonesia bergabung dengan Timor 30 tahun maka Cendana Hilang Total.

Dengan demikian lanjut Makxy, sebagai orang muda dari Timor, saya merasa kasihan dengan penetapan Menteri Lingkungan hidup terkait dengan penurunan status Cagar alam MUTIS menjadi Taman Nasional

“Ini ada apa dengan MUTIS ? Yang pasti Mutis itu bukan hanya sekedar konsep Bernegara tapi Bangsa dimana Mutis memang ada di Negara Indonesia,” terangnya.

Lebih lanjut dijekaskan, Mutis merupakan milik seluruh bangsa Timor dan Timor Barat sampai Timor di bagian Timur.

Hal ini terbukti adanya beberapa hasil alam Mutis seperti Lebah dan lain lainnya yang mendiam di dalam Alam Mutis yang setiap tahun masyarakat adat selalu mengundangnya secara adat untuk bisa keluar dan datang seperti contohnya di Desa Lolli kecamatan Polen.

“Disinilah masyarakat bisa mengambil hasil Lebah nya untuk menjadi komoditi hasil ekonomi hingga dapat menyekolahkan anak anak ke perguruan tinggi, dll,” ungkap Angket.

Tokoh muda Mollo ini menegaskan, jika sampai pemerintah menurunkan status Cagar alam ke taman Nasional maka saya merasa bahwa ini adalah salah satu cara pembunuhan karakter kepada rakya.

“Lalu kemana lagi masyarakat harus mengambil hasil alam untuk kebutuhan hidupnya?” tanya Maksi.

Selain memberi manfaat besar bagi masyarakat setempat, bagi Maksi, Mutis juga menjadi suatu kebiasaan tradisi orang Timor di mana Suku Dawan TTU menyebut Mutis sebagai Pah Nitu yaitu dunia orang mati atau tempat berkumpulnya arwah arwah orang mati sebelum ke sorga atau Neraka.

“Gunung Mutis itu juga tempat penyedia air bagi beberapa Kabupaten di Timor NTT hingga bagian Timur. Jadi Mutis itu bukan milik sepihak. Karena itu jangan memutuskan sesuatu tanpa memberikan keadilan yang jelas,” pungkas Makxy Angket.

Menutupi perbincangan dengan media ini, Maksi kembali menegaskan agar tidak ada intervensi dari luar termasuk proyek proyek pemerintah karna itu dapat membahayakan keberlangsungan
masyarakat.

Dengan demikian saya lebih cenderung kalau dapat hak Masyarakat adat dan hak pengelola sumberdaya Alam Mutis melalui Penegasan Peraturan Daerah.

Artinya masyarakat adat di sekitar Mutis memperlakukan hutan bukan sekedar ruang hidup saja tapi juga memiliki makna spiritual mendalam serta menjadi bagian penting dan keyakinan serta situs kepercayaan mereka.

“Tentu mereka cemas ketika akses ke hutan Mutis dibatasi dan akan mengancam keberlangsungan tradisi dan pondasi kehidupan yang mereka jalani selama ratusan tahun,” ujar Angket.

(Red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *